Jika aku mati, ikhlaskan aku dengan senyuman
Judul ini terinspirasi dari Ibuku yang menunjukkan sikap ikhlas menerima tamu-tamu dengan senyuman saat Bapakku wafat 27 Desember 2008. Saat aku sampai Jogja waktu itu, ibu melarangku menangis. Ibuku sangat mencintai Bapak tentu saja. Bapakku pendiam, tidak banyak bicara, di ruang kerjanya selalu terbuka buku-buku agama. Dan ide dari Bapakku, rumahku selain jadi tempat tinggal juga dijadikan tabungan akhirat. Ada bangunan untuk playgrup Islami, pengajian, dan kalau bulan Ramadhan menjadi tempat untuk shalat tarawih.Semalam sebelum meninggal, Bapakku sempat mendatangi pernikahan putra seorang sahabat beliau satu almamater di Teknik Sipil UGM. Bapak menyetir sendiri sendiri saat itu, dan sesama dosen atau pensiunan dosen Teknik Sipil UGM berkumpul di ruangan khusus. Jadi saat besok shubuhnya Bapak meninggal, para sahabat Bapak satu almamater yang sudah seperti satu keluarga ini cukup terkejut.
Pak Amien Rais membatalkan seluruh acaranya hari itu dan berada di rumah sampai Bapakku diberangkatkan ke pemakaman. Pak Amien Rais sempat berbicara untuk mengenang almarhum Bapak (aku agak lupa tepatnya), tapi intinya menyatakan Bapakku meninggal dengan ciri-ciri khusnul khotimah, saat sholat shubuh.
Ibuku juga tidak menyelenggarakan tahlilan, karena memang menurut ajaran Islam yang benar, tahlilan tidak perlu diselenggarakan.
"Ya Allah, ampuni dosa-dosaku. Ampuni dosa kedua orang tuaku. Semoga bila aku mati banyak orang mendoakan aku, mengenang aku yng baik-baik saja, dan mengikhlaskan aku dengan senyuman..."
Ummu Salamah berkata; Ketika Abu Salamah meninggal dunia, saya pun berkata, Orang asing, meninggal pula di negeri asing. Akan kuratapi dia sepuas-puasnya sehingga menjadi buah bibir orang. Ketika aku bersiap-siap hendak meratapinya, tiba-tiba datang seorang perempuan dari dusun menawarkan diri hendak menolongku meratap. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendatanginya seraya bersabda: Apakah kamu hendak memasukkan syetan lagi ke dalam rumah ini, yang mana Allah telah mengeluarkannya dari sini? beliau mengulanginya hingga dua kali. Maka mendengar sabda beliau itu, akhirnya aku menahan diri dan tidak jadi meratap. (HR. Muslim)
Bahwa Jarir datang kepada Umar ra, lalu Umar bertanya: Adakah mayyit kalian diratapi ? Dia menjawab: Tidak, lalu bertanya juga: Adakah orang-orang berkumpul di keluarga mayyit dan membuat makanan ? Dia menjawab:ya, maka Umar berkata: Yang demikian adalah ratapan. (Al Mugni Ibnu Qudamah zuz 2 hal 43).
0 comments: